Turyati


BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang Masalah
Dewasa ini, makin dikenal istilah bullying dalam dunia pendidikan kita. Bullying kini tidak hanya dilakukan oleh remaja-remaja, namun mulai dilakukan oleh anak-anak juga. Maraknya aksi bullying atau tindakan yang membuat seseorang merasa teraniaya madalah lagu lama bagi kita. Namun hingga kini kita seolah-olah menutup mata terhadap tindakan yang dapat membahayakan keadaan psikis seseorang itu.
Bullying adalah fenomena yang telah lama terjadi di kalangan remaja. Kasus bullying biasanya menimpa anak sekolah. Pelaku bullying akan mengintimidasi/mengejek kawannya sehingga kawannya tersebut jengkel. Atau lebih parah lagi, korban bullying akan mengalami depresi dan hingga timbul rasa untuk bunuh diri. Bullying harus dihindari karena bullying mengakibatkan korbannya berpikir untuk tidak berangkat ke sekolah karena di sekolahnya ia akan di bully oleh si pelaku. Selain itu, bullying juga dapat menjadikan seorang anak turun prestasinya karena merasa tertekan sering di bully oleh pelaku. Sehingga bullying antar siswa di sekolah perlu mendapatkan sorotan yang lebih.

1.2  Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud bullying ?
2.      Apa saja faktor penyebab bullying antar siswa di sekolah?

3.      Apa saja dampak adanya bullying antar siswa di sekolah ?
4.      Bagaimana peran guru dalam mengurangi bullying antar siswa di sekolah ?

1.3  Tujuan
1.      Menjelaskan apa yang dimaksud dengan bullying
2.      Menjelaskan faktor penyebab bullying antar siswa di sekolah
3.      Menjelaskan dampak  dari tindakan bullying antar siswa di sekolah
4.      Menjelaskan peran guru dalam mengurangi bullying antar siswa di sekolah

1.4  Manfaat
1.      Mengetahui apa yang di maksud bullying
2.      Mengetahui faktor – faktor yang menyebabkan bulyying antar siswa di sekolah
3.      Mengetahui dampak dari tindakan bullying antar siswa di sekolah
4.      Menjelaskan peran guru dalam mengurangi bullying antar siswa di sekolah




















BAB II
PEMBAHASAN
2.1  Definisi Bullying
Bullying (arti harfiahnya: penindasan) adalah perilaku seseorang atau sekelompok orang secara berulang yang memanfaatkan ketidakseimbangan kekuatan dengan tujuan menyakiti targetnya (korban) secara mental atau secara fisik. 
Bullying adalah perilaku agresif yang dilakukan secara sengaja terjadi berulang-ulang untuk menyerang seorang target atau korban yang lemah, mudah dihina dan tidak bisa membela diri sendiri (SEJIWA, 2008). Bullying juga didefinisikan sebagai kekerasan fisik dan psikologis jangka panjang yang dilakukan seseorang atau kelompok, terhadap seseorang yang tidak mampu mempertahankan dirinya dalam situasi di mana ada hasrat untuk melukai atau menakuti orang itu atau membuat dia tertekan (Wicaksana, 2008). Menurut Black dan Jackson (2007, dalam Margaretha 2010) Bullying merupakan perilaku agresif tipe proaktif yang didalamnya terdapat aspek kesengajaan untuk mendominasi, menyakiti, atau menyingkirkan, adanya ketidakseimbangan kekuatan baik secara fisik, usia, kemampuan kognitif, keterampilan, maupun status sosial, serta dilakukan secara berulang-ulang oleh satu atau beberapa anak terhadap anak lain. Sementara itu Elliot (2005) mendefinisikan bullying sebagai tindakan yang dilakukan seseorang secara sengaja membuat orang lain takut atau terancam. Bullying menyebabkan korban merasa takut, terancam atau setidak - tidaknya tidak bahagia.
Olweus mendefenisikan bullying adalah perilaku negatif seseorang atau lebih kepada korban bullying yang dilakukan secara berulang-ulang dan terjadi dari waktu ke waktu. Selain itu bullying juga melibatkan kekuatan dan kekuasaan yang tidak seimbang, sehingga korbannya berada dalam keadaan tidak mampu mempertahankan diri secara efektif untuk melawan tindakan negatif yang diterima korban (Krahe, 2005). Menurut uraian dari berbagai ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa bullying adalah penggunaan agresi dengan tujuan untuk menyakiti orang. lain baik secara fisik maupun secara mental serta dilakukan secara berulang. Perilaku bullying dapat berupa tindakan fisik, verbal, serta emosional/psikologis. Dalam hal ini korban bullying tidak mampumembela atau mempertahankan dirinya sendiri karena lemah secara fisikatau mental.
Bullying merupakan suatu bentuk ekspresi, aksi bahkan perilaku kekerasan. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) memberi pengertian bullying sebagai “kekerasan fisik dan psikologis berjangka panjang yang dilakukan seseorang atau kelompok terhadap seseorang yang tidak mampu mempertahankan diri dalam situasi di mana ada hasrat untuk melukai atau menakuti orang atau membuat orang tertekan, trauma atau depresi dan tidak berdaya.”Bullying biasanya dilakukan berulang sebagai suatu ancaman, atau paksaan dari seseorang atau kelompok terhadap seseorang atau kelompok lain. Bila dilakukan terus menerus akan menimbulkan trauma, ketakutan, kecemasan, dan depresi. Kejadian tersebut sangat mungkin berlangsung pada pihak yang setara, namun, sering terjadi pada pihak yang tidak berimbang secara kekuatan maupun kekuasaan. Salah satu pihak dalam situasi tidak mampu mempertahankan diri atau tidak berdaya. Korban bullyingbiasanya memang telah diposisikan sebagai target. Bullying sering kita temui pada hubungan sosial yang bersifat subordinat antara senior dan junior.

2.1.1        Jenis – jenis Bullying
Ada beberapa jenis bullying menurut SEJIWA (2008) :
a.       Bullying fisik
Jenis bullying yang terlihat oleh mata, siapapun dapat melihatnya karena terjadi sentuhan fisik antara pelaku bullying dan korbannya. Contoh - contoh bullying fisik antara lain : memukul, menarik baju, menjewer, menjambak, menendang, menyenggol dengan bahu, menghukum dengan membersihkan WC, menampar, menimpuk, menginjak kaki, menjegal, meludahi, memalak, melempar dengan barang, menghukum dengan berlari lapangan, menghukum dengan cara push up.
b.      Bullying verbal
Jenis bullying yang juga bisa terdeteksi karena bisa terungkap indra pendengaran kita. Contoh - contoh bullying verbal antara lain : membentak, meledek, mencela, memaki - maki, menghina, menjuluki, meneriaki, mempermalukan didepan umum, menyoraki, menebar gosip, memfitnah.
c.       Bullying mental atau psikologi
Jenis bullying yang paling berbahaya karena tidak tertangkap oleh mata atau telinga kita apabila tidak cukup awas mendeteksinya. Praktik bullying ini terjadi diam - diam dan diluar jangkauan pemantauan kita. Contoh - contohnya: mencibir, mengucilkan, memandang sinis, memelototi, memandang penuh ancaman, mempermalukan di depan umum, mendiamkan, meneror lewat pesan pendek, telepon genggem atau email, memandang yang merendahkan.
2.1.2        Karakteristik Bullying
Menurut Ribgy (2002, dalam Astuti 2008) tindakan bullying mempunyai tiga karakteristik terintegrasi, yaitu:
1.      Adanya perilaku agresi yang menyenangkan pelaku untuk menyakiti korban. Bullying adalah sebuah hasrat untuk menyakiti. Hasrat ini diperlihatkan kedalam aksi, menyebabkan seseorang menderita. Aksi ini dilakukan secara langsung oleh seseorang atau kelompok yang lebih kuat, tidak bertanggung jawab, biasanya berulang, dan dilakukan dengan perasaan senang (Astuti, 2008).
2.      Tindakan dilakukan secara tidak seimbang sehingga korban merasa tertekan. Bullying juga melibatkan kekuatan dan kekuasaan yang tidak seimbang, sehingga korbannya berada dalam keadaan tidak mampu mempertahankan diri secara efektif untuk melawan tindakan negatif yang diterima korban (Krahe, 2005).
3.      Perilaku ini dilakukan secara terus menerus dan juga berulang-ulang. Bullying merupakan perilaku agresif tipe proaktif yang didalamnya terdapat aspek kesengajaan untuk mendominasi, menyakiti, atau menyingkirkan, adanya ketidakseimbangan kekuatan baik secara fisik, usia, kemampuan kognitif, keterampilan, maupun status sosial, serta dilakukan secara berulang-ulang oleh satu atau beberapa anak terhadap anak lain (Black dan Jackson 2007, dalam Margaretha 2010).

2.1.3        Perilaku Bullying
·         Pelaku utama
Pelaku utama adalah pihak yang merasa lebih berkuasa dan berinisiatif melakukan tindak kekerasan baik secara fisik maupun psikologis terhadap korban
  • Pelaku pengikut Pelaku
pengikut, yaitu pihak yang ikut melakukan bullying berdasarkan solidaritas kelompok atau rasa setia kawan, konformitas, tuntutan kelompok, atau untuk mendapatkan penerimaan atau pengakuan kelompok.
  • Saksi
Di luar pihak pelaku dan korban sebenarnya ada sekelompok saksi, dimana saksi ini biasanya hanya bisa diam membiarkan kejadian berlangsung, tidak melakukan apapun untuk menolong korban, bahkan seringkali mendukung perlakuan bullying. Saksi cenderung tidak mau ikut campur disebabkan karena takut menjadi korban berikutnya, merasa korban pantas dibully, tidak mau menambah masalah atau tidak mau tahu.
2.2  Faktor Penyebab Bullying antar siswa di Sekolah
Beberapa faktor diyakini menjadi penyebab terjadinya bullying,  keluarga, individual, dan sekolah adalah beberapa hal di antaranya. Pertama, faktor keluarga; pelaku bullying bisa jadi menerima perlakuan bullying pada dirinya, yang mungkin dilakukan oleh seseorang di dalam keluarga. Anak-anak yang tumbuh dalam keluarga yang agresif dan berlaku kasar akan meniru kebiasaan tersebut dalam kesehariannya. Kekerasan fisik dan verbal yang dilakukan orangtua kepada anak akan menjadi contoh perilaku. Hal ini akan diperparah dengan kurangnya kehangatan kasih sayang dan tiadanya dukungan dan pengarahan membuat anak memiliki kesempatan untuk menjadi seorang pelaku bullying. Sebuah studi membuktikan bahwa perilaku agresif meningkat pada anak yang menyaksikan kekerasan yang dilakukan sang ayah terhadap ibunya.
Kedua, faktor kepribadian; salah satu faktor terbesar penyebab anak melakukan bullying adalah tempramen. Tempramen adalah karakterisktik atau kebiasaan yang terbentuk dari respon emosional. Hal ini mengarah pada perkembangan tingkah laku personalitas dan sosial anak. Seseorang yang aktif dan impulsif lebih mungkin untuk berlaku bullying dibandingkan orang yang pasif atau pemalu.
Beberapa anak pelaku bullying sebagai jalan untuk mendapatkan popularitas, perhatian, atau memperoleh barang-barang yang diinginkannya. Biasanya mereka takut jika tindakan bullying menimpa diri mereka sehingga mereka mendahului berlaku bullying pada orang lain untuk membentuk citra sebagai pemberani. Meskipun beberapa pelaku bullying merasa tidak suka dengan perbuatan mereka, mereka tidak sungguh-sungguh menyadari akibat perbuatan mereka terhadap orang lain.
Ketiga, faktor sekolah; tingkat pengawasan di sekolah menentukan seberapa banyak dan seringnya terjadi peristiwa bullying. Sebagaimana rendahnya tingkat pengawasan di rumah, rendahnya pengawasan di sekolah berkaitan erat dengan berkembangnya perlaku bullying di kalangan siswa. Pentingnya pengawasan dilakukan terutama di tempat bermain dan lapangan, karena biasanya di kedua tempat tersebut perilaku bullying kerap dilakukan. Penanganan yang tepat dari guru atau pengawas terhadap peristiwa bullying adalah hal yang penting karena perilaku bullying yang tidak ditangani dengan baik akan meyebabkan kemungkinan perilaku itu terulang.
Secara sosiokultural, bullying dipandang sebagai wujud rasa frustrasi akibat tekanan hidup dan hasil imitasi dari lingkungan orang dewasa. Tanpa sadar, lingkungan memberikan referensi kepada remaja bahwa kekerasan bisa menjadi sebuah cara pemecahan masalah.  Misalnya saja lingkungan preman yang sehari-hari dapat dilihat di sekitar mereka dan juga aksi kekerasan dari kelompok-kelompok massa. Belum lagi tontotan-tontonan kekerasan yang disuguhkan melalui media visual. Walaupun tak kasat mata, budaya feodal dan senioritas pun turut memberikan atmosfer dominansi dan menumbuhkan perilaku menindas.
Dalam penelitian Riauskina, Djuwita, dan Soesetio, (2005)  alasan seseorang melakukan bullying adalah karena  korban mempunyai persepsi bahwa pelaku melakukan bullying karena tradisi, balas dendam karena dia dulu diperlakukan sama (menurut korban laki-laki), ingin menunjukkan kekuasaan, marah karena korban tidak berperilaku sesuai dengan yang diharapkan, mendapatkan kepuasan (menurut korban perempuan), dan iri hati (menurut korban perempuan). Adapun korban juga mempersepsikan dirinya sendiri menjadi korban bullying karena penampilan yang menyolok, tidak berperilaku dengan sesuai, perilaku dianggap tidak sopan, dan tradisi.
Menurut Ariesto (2009, dalam Mudjijanti 2011) dan Kholilah (2012), penyebab terjadinya bullying antara lain :
1.      Keluarga
Pelaku bullying seringkali berasal dari keluarga yang bermasalah : orang tua yang sering menghukum anaknya secara berlebihan, atau situasi rumah yang penuh stress, agresi, dan permusuhan. Anak akan mempelajari perilaku bullying ketika mengamati konflik-konflik yang terjadi pada orang tua mereka, dan kemudian menirunya terhadap teman-temannya. Jika tidak ada konsekuensi yang tegas dari lingkungan terhadap perilaku coba-cobanya itu, ia akan belajar bahwa “mereka yang memiliki kekuatan diperbolehkan untuk berperilaku agresif, dan perilaku agresif itu dapat meningkatkan status dan kekuasaan seseorang”. Dari sini anak mengembangkan perilaku bullying.
2.      Sekolah
Karena pihak sekolah sering mengabaikan keberadaan bullying ini, anak-anak sebagai pelaku bullying akan mendapatkan penguatan terhadap perilaku mereka untuk melakukan intimidasi terhadap anak lain. Bullying berkembang dengan pesat dalam lingkungan sekolah sering memberikan masukan negatif pada siswanya, misalnya berupa hukuman yang tidak membangun sehingga tidak mengembangkan rasa menghargai dan menghormati antar sesama anggota sekolah.
3.      Faktor Kelompok Sebaya
Anak-anak ketika berinteraksi dalam sekolah dan dengan teman di sekitar rumah, kadang kala terdorong untuk melakukan bullying. Beberapa anak melakukan bullying dalam usaha untuk membuktikan bahwa mereka bisa masuk dalam kelompok tertentu, meskipun mereka sendiri merasa tidak nyaman dengan perilaku tersebut. Bullying termasuk tindakan yang disengaja oleh pelaku pada korbannya, yang dimaksudkan untuk menggangu seorang yang lebih lemah. Faktor individu dimana kurangnya pengetahuan menjadi salah satu penyebab timbulnya perilaku bullying, Semakin baik tingkat pengetahuan remaja tentang bullying maka akan dapat meminimalkan atau menghilangkan perilaku bullying.

2.3  Dampak dari Tindakan Bullying Antar Siswa Di Sekolah
Hilda, et al (2006; dalam Anesty, 2009) menjelaskan bullying tidak hanya berdampak terhadap korban, tapi juga terhadap pelaku, individu yang menyaksikan dan iklim sosial yang pada akhirnya akan berdampak terhadap reputasi suatu komunitas. Terdapat banyak bukti tentang efek-efek negatif jangka panjang dari tindak bullying pada para korban dan pelakunya. Pelibatan dalam bullying sekolah secara empiris teridentifikasi sebagai sebuah faktor yang berkontribusi pada penolakan teman sebaya, perilaku menyimpang, kenalakan remaja, kriminalitas, gangguan psikologis, kekerasan lebih lanjut di sekolah, depresi, dan ideasi bunuh diri. Efek-efek ini telah ditemukan berlanjut pada masa dewasa baik untuk pelaku maupun korbannya (Marsh dalam Sanders 2003).
Elliot dalam Astuti (2008) mengatakan bahwa bullying memiliki dampak yang negatif bagi perkembangan karakter anak baik bagi si korban maupun pelaku. Akibat bullying pada korban :timbul perasaan tertekan karena pelaku menguasai korban; korban mengalami kesakitan fisik dan psikologis; kepercayaan diri merosot; malu; trauma; tak mampu menyerang balik; merasa sendiri / merasa tak ada yang menolong; serba salah dan takut sekolah; mengasingkan diri; menderita ketakutan sosial; cenderung ingin bunuh diri.
Dampak Bagi Korban
Selain itu, juga terdapat berbagai dampak yang ditimbulkan akibat bullying. Dampak yang dialami korban bullying tersebut bukan hanya dampak fisik tapi juga dampak psikis. Bahkan dalam kasus-kasus yang ekstrim seperti insiden yang terjadi, dampak fisik ini bisa mengakibatkan kematian.
1.       Dampak Jangka Panjang
Hilda (2009) menjelaskan bullying tidak hanya berdampak terhadap korban, tapi juga terhadap pelaku, individu yang menyaksikan dan iklim sosial yang pada akhirnya akan berdampak terhadap reputasi suatu komunitas. Terdapat banyak bukti tentang efek-efek negatif jangka panjang dari tindak bullying pada para korban dan pelakunya. Pelibatan dalam bullying sekolah secara empiris teridentifikasi sebagai sebuah faktor yang berkontribusi pada penolakan teman sebaya, perilaku menyimpang, kenalakan remaja, kriminalitas, gangguan psikologis, kekerasan lebih lanjut di sekolah, depresi, dan ideasi bunuh diri. Efek-efek ini telah ditemukan berlanjut pada masa dewasa baik untuk pelaku maupun korbannya
  1. Gangguan Emosi Korban
biasanya akan merasakan berbagai emosi negatif, seperti marah, dendam, tertekan, takut, malu, sedih, tidak nyaman, terancam, tetapi tidak berdaya menghadapinya. Dalam jangka panjang, kondisi ini dapat mengembangkan perasaan rendah diri dan tidak berharga. Bahkan, tak jarang ada yang ingin keluar dan pindah ke sekolah lain. Apabila mereka masih bertahan di situ, mereka biasanya terganggu konsentrasi dan prestasi belajarnya atau sering sengaja tidak masuk sekolah.
  1. Dampak Psikologis
Dampak psikologis yang lebih berat adalah kemungkinan untuk timbulnya masalah pada korban, seperti rasa cemas berlebihan, selalu merasa takut, depresi, dan ingin bunuh diri.
  1. Konsentrasi Belajar Terganggu
Hasil studi yang dilakukan National Youth Violence Prevention Resource Center Sanders (2003; dalam Anesty, 2009) menunjukkan bahwa bullying dapat membuat remaja merasa cemas dan ketakutan, mempengaruhi konsentrasi belajar di sekolah dan menuntun mereka untuk menghindari sekolah. Bila bullying berlanjut dalam jangka waktu yang lama, dapat mempengaruhi self-esteem siswa, meningkatkan isolasi sosial, memunculkan perilaku menarik diri, menjadikan remaja rentan terhadap stress dan depreasi, serta rasa tidak aman. Dalam kasus yang lebih ekstrim, bullying dapat mengakibatkan remaja berbuat nekat, bahkan bisa membunuh atau melakukan bunuh diri (commited suicide).
  1. Depresi dan Marah Terhadap Diri sendiri
Coloroso (2006) mengemukakan bahayanya jika bullying menimpa korban secara berulang-ulang. Konsekuensi bullying bagi para korban, yaitu korban akan merasa depresi dan marah, Ia marah terhadap dirinya sendiri, terhadap pelaku bullying, terhadap orang-orang di sekitarnya dan terhadap orang dewasa yang tidak dapat atau tidak mau menolongnya. Hal tersebut kemudan mulai mempengaruhi prestasi akademiknya. Berhubung tidak mampu lagi muncul dengan cara-cara yang konstruktif untuk mengontrol hidupnya, ia mungkin akan mundur lebih jauh lagi ke dalam pengasingan.
  1. Gangguan Akademik Sekolah
Terkait dengan konsekuensi bullying, penelitian Banks (1993, dalam Northwest Regional Educational Laboratory, 2001; dan dalam Anesty, 2009) menunjukkan bahwa perilaku bullying berkontribusi terhadap rendahnya tingkat kehadiran, rendahnya prestasi akademik siswa, rendahnya self-esteem, tingginya depresi, tingginya kenakalan remaja dan kejahatan orang dewasa. Dampak negatif bullying juga tampak pada penurunan skor tes kecerdasan (IQ) dan kemampuan analisis siswa. Berbagai penelitian juga menunjukkan hubungan antara bullying dengan meningkatnya depresi dan agresi.
Dampak bagi pelaku
Sanders (2003; dalam Anesty, 2009) National Youth Violence Prevention mengemukakan bahwa pada umumnya, para pelaku ini memiliki rasa percaya diri yang tinggi dengan harga diri yang tinggi pula, cenderung bersifat agresif dengan perilaku yang pro terhadap kekerasan, tipikal orang berwatak keras, mudah marah dan impulsif, toleransi yang rendah terhadap frustasi. Para pelaku bullying ini memiliki kebutuhan kuat untuk mendominasi orang lain dan kurang berempati terhadap targetnya. Apa yang diungkapkan tersebut sesuai dengan yang dikemukakan oleh Coloroso (2006:72) mengungkapkan bahwa siswa akan terperangkap dalam peran pelaku bullying, tidak dapat mengembangkan hubungan yang sehat, kurang cakap untuk memandang dari perspektif lain, tidak memiliki empati, serta menganggap bahwa dirinya kuat dan disukai sehingga dapat mempengaruhi pola hubungan sosialnya di masa yang akan datang.
Dengan melakukan bullying, pelaku akan beranggapan bahwa mereka memiliki kekuasaan terhadap keadaan. Jika dibiarkan terus-menerus tanpa intervensi, perilaku bullying ini dapat menyebabkan terbentuknya perilaku lain berupa kekerasan terhadap anak dan perilaku kriminal lainnya.
Dampak bagi siswa lain yang menyaksikan bullying (bystanders)
Jika bullying dibiarkan tanpa tindak lanjut, maka para siswa lain yang menjadi penonton dapat berasumsi bahwa bullying adalah perilaku yang diterima secara sosial. Dalam kondisi ini, beberapa siswa mungkin akan bergabung dengan penindas karena takut menjadi sasaran berikutnya dan beberapa lainnya mungkin hanya akan diam saja tanpa melakukan apapun dan yang paling parah mereka merasa tidak perlu menghentikannya.
Selain dampak-dampak bullying yang telah dipaparkan di atas, penelitian- penelitian yang dilakukan baik di dalam maupun luar negeri menunjukkan bahwa bullying mengakibatkan dampak-dampak negatif sebagai berikut:
  1. Gangguan psikologis, misalnya rasa cemas berlebihan, kesepian (Rigby K. 2003).
  2. Konsep diri sosial korban bullying menjadi lebih negatif karena korbam merasa tidak diterima oleh teman-temannya, selain itu dirinya juga mempunyai pengalaman gagal yang terus-menerus dalam membina pertemanan, yaitu di bully oleh teman dekatnya sendiri (Ratna Djuwita, dkk , 2005).
  3. Korban bullying merasakan stress, depresi, benci terhadap pelaku, dendam, ingin keluar sekolah, merana, malu, tertekan, terancam, bahkan ada yang menyilet-nyilet tangannya (Ratna Djuwita, dkk , 2005).
  4. Membenci lingkungan sosialnya, enggan ke sekolah (Forero et all.1999).
  5. Keinginan untuk bunuh diri (Kaltiala-Heino, 1999).
  6. Kesulitan konsentrasi; rasa takut berkepanjangan dan depresi (Bond, 2001).
  7. Cenderung kurang empatik dan mengarah ke psikotis (Banks R., 1993).
  8. Pelaku bullying yang kronis akan membawa perilaku itu sampai dewasa, akan berpengaruh negatif pada kemampuan mereka untuk membangun dan memelihara hubungan baik dengan orang lain.
  9. Korban akan merasa rendah diri, tidak berharga (Rigby, K, 1999).
  10. Gangguan pada kesehatan fisik: sakit kepala, sakit tenggorokan, flu, batuk- batuk, gatal-gatal, sakit dada, bibir pecah-pecah (Rigby, K, 2003).
Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa perilaku bullying dapat berdampak terhadap fisik maupun psikis pada korban, Dampak fisik seperti sakit kepala, sakit dada, cedera pada tubuh bahkan dapat sampai menimbulkan kematian. Sedangkan dampak psikis seperti rendah diri, sulit berkonsentrasi sehingga berpengaruh pada penurunan nilai akademik, trauma, sulit bersosialisasi, hingga depresi

2.4  Peran Guru dalam Mengurangi Bullying Antar Siswa Di Sekolah
Sebelum paparan mengenai peran guru, terlebih dahulu dijelaskan peran orang tua dalam menyikapi fenomena Bullying di sekolah.
sebagai orang tua atau pendidik, tindakan bullying seringkali kita anggap sebagai perilaku normal dari anak-anak sehingga tanpa disadari kita memberi toleransi pada sikap-sikap yang mengarah kepada tindakan mem-bully. Memberi label pada teman (si jangkung, si pendek, si bodoh, si pintar) adalah salah satu contohnya. Jika kita berhadapan dengan situasi tersebut, kita tidak boleh diam saja. Kita perlu menjelaskan bahwa ada konsekuensi negatif dari perbuatan mereka. Jika seorang anak tidak diajarkan bertanggungjawab untuk kesalahan yang kecil, maka di kemudian hari ia harus menanggung konsekuensi yang lebih besar.
Bagaimanapun, bullying masih dapat kita cegah dan dapat kita hentikan dengan menjaga komunikasi yang baik dengan anak-anak.
Dengan menciptakan waktu untuk berkomunikasi, kita dapat mengenali potensi timbulnya suatu masalah dan membantu anak dalam menghadapai permasalahan yang dihadapinya.
Berkomunikasilah dengan bahasa yang dapat dimengerti oleh anak. Ajar anak-anak untuk dapat merasakan apa yang orang lain rasakan (put him/herself in someone else's shoes). Prioritaskan waktu untuk berkomunikasi dengan anak setiap hari. Lakukan hal ini secara personal sehingga anak Anda merasa memiliki orang tuanya, terutama jika Anda dan pasangan sama-sama bekerja.
Orang tua juga harus membiasakan diri memberikan feedback positif bagi anak sehingga mereka belajar untuk berperilaku sosial yang baik dan mereka mendapatkan model interaksi yang tepat bukan seperti perilakubullying dan agresi. Kemudian, menggunakan alternatif hukuman bagi anak dengan tidak melibatkan kekerasan fisik maupun psikologis. Selain itu, orang tua mau menjalin relasi dengan sekolah untuk berkonsultasi jika anaknya baik sebagai pelaku bullying ataupun korban
Peran Guru Dalam Mengurangi Bullying Antar Siswa di sekolah
Upaya mencegah, mengatasi dan mengurangi bullying di sekolah bisa dimulai dari tindakan guru dan semua personil sekolah :
§  Menciptakan Budaya Sekolah yang Beratmosfer Belajar yang Baik.
Menciptakan budaya sekolah yang beratmosfer belajar tanpa rasa takut, melalui pendidikan karakter, menciptakan kebijakan pencegahan bullying di sekolah dengan melibatkan siswa, menciptakan sekolah model penerapan sistem anti-bullying, serta membangun kesadaran tentang bullying dan pencegahannya kepada stakeholders sampai ke tingkat rumah tangga dan tempat tinggal.
§  Menata Lingkungan Sekolah Dengan Baik.
Menata lingkungan sekolah dengan baik, asri dan hijau sehingga anak didik merasa nyaman juga merupakan faktor yang sangat berpengaruh dan akan membantu untuk pencegahan bullying.
§  Dukungan Sekolah terhadap Kegiatan Positif Siswa.
Sekolah sebaiknya mendukung kelompok-kelompok kegiatan agar diikuti oleh seluruh siswa. Selanjutnya sekolah menyediakan akses pengaduan atau forum dialog antara siswa dan sekolah, atau orang tua dan sekolah, dan membangun aturan sekolah dan sanksi yang jelas terhadap tindakan bullying.
Selain itu juga dapat berawal dari memperhatikan beberapa strategi penting yang dilakukan sekolah untuk menghentikan bullying adalah sebagai berikut.
-          Menyediakan pengawasan yang baik untuk anak/siswa.
-          Memberikan konsekuensi yang efektif/tegas untuk pelaku.
-          Adanya komunikasi yang baik antara orangtua dan guru.
-           Memberi kesempatan pada semua siswa untuk mengembangkan keterampilan interpersonal yang baik.
-          Menciptakan konteks sosial yang mendukung dan menyeluruh yang tidak mentolerir perilaku agresif dan kekerasan.
-          Guru memberikan contoh perilaku positif dalam mengajar, melatih, membina, berdoa, dan berbagai bentuk reinforcement lainnya.
-          Sekolah hendaknya proaktif dengan membuat program pengajaran keterampilan sosial, problem solving, manajemen konflik, dan pendidikan karakter.
Ratiyono mengemukakan dua strategi untuk mengatasi bullying yakni strategi umum dan khusus.
  1. Strategi umum dijabarkan dengan menciptakan kultur sekolah yang sehat. Ratiyono mendeskripsikan kultur sekolah sebagai pola nilai-nilai, norma, sikap, ritual, mitos dan kebiasaan-kebiasaan yang dibentuk dalam perjalanan panjang sekolah. Kultur sekolah dilaksanakan oleh warga sekolah secara bersama baik oleh kepala sekolah, guru, staf administrasi maupun siswa sebagai dasar dalam memahami dan memecahkan berbagai persoalan yang muncul.
  2. Sedangkan strategi khusus adalah mengidentifikasi faktor internal dan eksternal yang menyebabkan terjadinya tindakan bullying di lingkungan sekolah, aktifkan semua komponen secara proporsional sesuai perannya dalam menanggulangi perilaku bullying, susun program aksi penanggulangan bullying berdasarkan analisis menyeluruh dan melakukan evaluasi dan pemantauan secara periodik dan berkelanjutan.
Peran guru menjadi semacam social support, yaitu sebagai penyelesai masalah sosial lewat dukungan nyata. Jim Orford (2008) menyebutkan minimal ada lima fungsi utama dari social support yaitu : 1) material (dapat dilihat, atau pendukung instrumen); 2) emosi (ekspresi, atau dukungan pengaruh/perhatian); 3) harga diri ( pengakuan, dukungan nilai); 4) informasi ( nasehat, atau dukungan kognisi, dukungan atau bimbingan); 5) persahabatan (interaksi sosial yang positif). Dalam program intervensi melalui peran/partisipasi guru adalah mendorong terciptanya semua social support di atas. Guru dapat memainkan perannya dalam menyediakan alat-alat pendukung instrumen yang tampak/terlihat seperti pamflet, brosur,yang secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi tindakan siswa; guru juga dapat memberikan dukungan yang bersifat emosi dengan memberikan perhatian lebih kepada mereka yang rentan mengalami bullying melalui ekspresi yang bersifat pasikologis, dan menciptakan atmosfir yang bersahabat.
Menurut Mc Evoy untuk mendukung semua hal di atas, diperlukan keseriusan untuk memberi program intervensi terhadap guru baik yang bersifat kognitif yaitu pengetahuan mengenai bullying dan dampaknya, serta ketrampilan teknis baik bersifat ketrampilan yang membawa efek langsung maupun efek tidak langsung seperti ketrampilan membangun relasi, resolusi konflik, serta integritas untuk mencegah perilaku bullying yang dilakukan guru (Tanda Terjadinya Bulllying, 2005)
Masalah bullying tidak hanya merupakan tanggung jawab guru bimbingan dan konseling saja, namun semua pihak di sekolah dan orang tua siswa juga haria bekerjasama mengatasi bullying di sekolah. Sebagai seorang konselor sekolah, kita dapat melakukan usaha-usaha untuk mengatasi bullying, diantaranya :
1.      Preventif (Pencegahan)
Dalam langkah ini dimaksudkan untuk mencegah timbulnya masalah bullying di sekolah dan dalam diri siswa sehingga dapat menghambat perkembangannya. Untuk itu perlu dilakukan orientasi tentang layanan bimbingan dan konseling kepada setiap siswa. Guru BK dapat membuat program-program yang efektif dalam memberantas bullying. Misalnya dengan menanamkan pendidikan tanpa kekerasan di sekolah, guru BK dapat melakukannya dengan menjalin komunikasi yang efektif dengan siswa, mengenali potensi-potensi siswa, menempatkan siswa sebagai subjek pembelajaran, guru memberikan kebebasan pada siswa untuk berkreasi dan guru menghargai siswa sesuai dengan talenta yang dimiliki siswa. Atau saat awal masuk sekolah guru BK menjelaskan peraturan sekolah yag melarang keras bullying di sekolah dan hukumannya, agar siswa berfikir dua kali sebelum melakukan bullying. Guru BK juga bisa bekerjasama dengan orang tua siswa untuk menanggulangi bullying atau mendeteksi dini perilaku bullying di sekolah.
2.      Kuratif
Jika guru pembimbing mengetahui ada siswa yang terlibat dalam permasalahan bullying, maka guru pembimbing harus segera menangani permasalahan ini hingga tuntas. Baik itu  penanganan terhadap pelaku, korban, reinforcer dll yang terlibat     bullying. Termasuk juga pengentasan dalam masalah konsekuensi yang akan diterimanya dari sekolah, karena melanggar peraturan dan disiplin sekolah. Juga guru bimbingan harus mengetahui akar permasalahan mengapa pelaku melakukan bullying pada korbannya dan membantu menyelesaikan akar permasalahan tadi.
3.      Preservatif
Setelah masalah bullying selesai, maka perlu dilakukan pemeliharaan terhadap segala sesuatu yang positif dari diri siswa, agar tetap utuh, tidak rusak, dan tetap dalam keadaan semula, serta mengusahakan agar hal-hal tersebut bertambah lebih baik dan berkembang. Bagi anak-anak yang sudah terlibat bullying maka sebagai proses rehabilitasi perlu dilakukan penyaluran minat dan bakat dengan tepat ke dalam berbagai kegiatan-kegiatan ekskul di sekolah, maupun di luar sekolah. Penyesuaian diri siswa dengan lingkungan sosial serta pengembangan diri dalam mengembangkan potensi positifnya juga perlu dilakukan agar ia tidak melakukan bullying lagi. Namun, siswa di sekolah juga harus menerima pelaku bullying dan memberinya kesempatan untuk memperbaiki kesalahannya.   
4.      Reveral
Bila masalah bullying yang ada di sekolah sudah tidak dapat diatasi oleh pihak sekolah, sekolah dapat melaporkan bullying kepihak yang berwajib karena menyangkut masalah tindak pidana kriminal, maka hal tersebut perlu dilakukan. Berdasr dampak megatif yang sangat besarnya karena perilaku bullying di sekolah yang bisa berujung pada gangguan psikologis bahkan kematian. Atau bisa juga guru bimbingan dan konseling mengirim pelaku bullying pada psikiater atau orang yang lebih mampu mengatasi masalah kebiasaan bullying itu.


BAB III
PENUTUP

A.    Simpulan
Bullying adalah perilaku agresif yang dilakukan secara sengaja terjadi berulang-ulang untuk menyerang seorang target atau korban yang lemah, mudah dihina dan tidak bisa membela diri sendiri (SEJIWA, 2008). Ada banyak faktor yang menyebabkan bullying, dan ada berbagai macam dampak pula yang ditimbulkan tidakan bullying, baik dampak pada korban, pelaku, dan orang yang menyaksikan bullying tersebut. Sehingga sangat dibutuhkan peran orang tua dan yang paling penting adalah peran guru dan sekolah dalam mengurangi bullying antar siswa disekolah.

B.     Saran
Inilah yang dapat kami paparkan melalui makalah ini. Semoga dengan adanya makalah ini, pembaca dapat ikut serta mendukung upaya menguragi bullying di sekolah. Namun kami sadar, makalah ini belum sempurna. Dengan demikian kami mohon kritik dan saran dari pembaca supaya makalah ini dapat menjadi referensi dalam pembelajaran.











DAFTAR PUSTAKA
http://lib.unnes.ac.id/18683/1/160140801 Diakses pada tanggal 15 Oktober 2014, pukul 13.00
http://digilib.unimus.ac.id/download.php?id=12999 Diakses pada tanggal 15 Oktober 2014, pukul 13.30
http://www.konselorsekolah.com/2012/04/mengapa-mereka-melakukan-bullying.html Diakses pada tanggal 14 Oktober 2014, pukul 19. 35
http://en.wikipedia.org.wiki.workplace_bullying Diakses pada tanggal 14 Oktober 2014, pukul 19. 40
0 Responses

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.