Turyati


Siapa Wali Nikahku
Oleh : Turyati

“Apa aku tidak boleh memilih dalam hal ini, menentukan sesuatu berdasarkan kemauanku dan pembenaranku,” aku masih saja bermonolog dengan pikiranku sendiri. Mengingat sebulan lagi adalah hari pernikahanku dengan seorang laki-laki pilihanku.
“Kenapa Tuhan harus membuat ketentuan, kenapa tidak kita saja yang menentukan sendiri. Aku ingin ayah....” kata-kataku berhenti sebelum titik. kalimat-kalimat introgatif itu masih terus aku ocehkan. Meskipun aku sadar takkan ada satu pun orang yang menyahutinya.
Jika hidup itu seperti choise dialog dalam sebuah aplikasi tentu semua orang akan memilih option yang paling menguntungkan. Jika takdir itu tidak pernah ada mungkin jalan hidup setiap orang akan mulus dan straight di jalan yang sesuai planning. Tuhan telah membuat ketentuan-ketentuan yang memang kadang tak seperti yang kita inginkan. Tapi, takdir Tuhan adalah takdir terbaik untuk hambanya. Pilihan manusia hanyalah soal emosi dan hasrat semata, tapi pilihan Tuhan itu segalanya. Kurang lebih seperti itu. Seperti pilihan Tuhan untukku.
Genap 23 tahun. Aku tak pernah tahu jika pada akhirnya aku sampai di angka itu, angka yang terlalu berat untuk dilalui begitu saja.  Dan sebentar lagi aku akan segera melepas masa lajangku, seorang politisi muda akan segera mempersuntingku. Aku bahagia, namun juga bingung. Bukan soal politsi mudaku, tapi soal wali nikahku nanti.
Sore ini, rona mega seperti menggantung, mungkin akan hujan mungkin juga hanya mendung. Angin belarian begitu saja, menyapa pohon hingga ke daun dan rantingnya. Suara-suara tukang jualan silih berganti, terkadang malah seperti beradu orasi. Suara-suara mereka terdengar jelas dari balik jendela kamarku.
“Siomay, may, siooomay. Tek tek tek,“ Mang siomay datang bersama gerobak pikul dan kotekannya.
“Tuk, gethuk gethuk, gethuk lindddddri,” seorang datang dari arah yang berlawanan menyunggi bakul yang berisi gethuk warna-warni. Putih, merah dan hijau diatasnya di taburi parutan kelapa, warga desa biasa menyebutnya Gethuk Lindri. Memang sedikit heran karena kali ini kedua penjual itu kutemukan di kompleks perumahan.

“Siomay, gethuk, siomay siomay, gethuk siomay gethuk gethuk,” seolah beradu orasi, keduanya menyerukan slogannya secara bersamaan dengan cengkok khas masing-masing. Dua-duanya tak mau terkalahkan.
Tapi aku tak menggubrisnya, tidak untuk siomay tidak juga gethuk. Berat rasanya mengangkat bokongku dari kursi ini, kemudian keluar dan melambai pada salah satunya. Mejaku berantakan, buku-buku, alat tulis, vas bunga dan frame foto tidak beraturan. Aku tak perduli, mataku hanya menatap kopi hitam yang tinggal setengah cangkir ini. Mungkin itu hanya mataku yang menatapnya, tapi pikiranku jelas bukan soal cangkir zodiak atau bahkan soal ampas kopinya. 2014. Empat digit angka itu tersenyum manis dalam calender dindingku. Kadang dia mengajakku bertengkar, kadang mengajakku menangis dan kadang mengajakku tertawa. Tapi sore ini, dia mengajakku bicara. Empat digit angka itu mengajakku nostalgia ke masa itu. Masa ketika aku menjadi sebuah tali yang mereka tarik-tarik.
                                                            ***
“Nayya.” Seorang laki–laki berkumis menyebut namaku dengan santai di depan ayahku. Mereka berdua duduk di ruang tamu. Obrolannya terlihat ringan, sesekali laki-laki itu menyeruput kopi hitam buatan ibuku dengan sangat elegan. Aku rasa dia bukan priyayi atau orang ningrat, tapi entahlah.
“Kenapa? Dia putriku”
“Memang benar Ahas kamulah yang telah merawatnya dari bayi hingga hari ini. Tapi apa kamu lupa...?” kalimat laki-laki itu menggantung.
“Dia adalah putri kandungku,” tambah laki-laki itu kemudian.
Aku dan ibu menguping pembicaraan keduanya dari ruang tengah, kebetulan memang ruang tamu dan ruang tengah bersebelahan dan hanya bersekat dinding sederhana. Aku berdiri tepat dibawah calender dinding, yang bertuliskan 1999. Sepertimya ibu sudah tahu apa yang sedang mereka bicarakan, ibu terlihat lebih serius ketika mendengarkan kata demi kata yang mereka lontarkan. sementara aku hanya diam tak begitu mengerti, yang aku tahu hanya namaku yang beberapa kali disebut-sebut.
“Apa kamu lupa? Dari awal Mbak Mar hamil, kamu kan tidak pernah menginginkannya Odi. Bahkan sampai Nayya lahir dan beliau meninggal ekspresimu masih begitu-begitu saja,” ayahku langsung mengeluarkan peluru kata-katanya.
 “Kamu pikir, seluruh keluarga tidak tahu. Kamu sudah menunggui wanitamu itu jauh sebelum Mbak Mar meninggal. Bahkan mungkin kamu berdoa supaya Mbak Mar lekas mati dan kau bisa bersatu dengan wanita itu,” ayah mulai geram, nada bicaranya tak sesantai tadi.
“Aku datang ke sini bukan untuk membicarakan masalah Mar atau bahkan Rini padamu Has” laki-laki itu kemudian bangkit dari tempat duduknya.
“Setan kau. Setttttan.“ umpat laki-laki itu setelah menggebrak meja.
“Kau yang setan. Kemana saja kamu saat ini, dimana sosokmu ketika Nayya kecil membutuhkan susu, bubur, popok dan bedak tabur. Apa jangan-jangan kau lupa kalau Nayya itu pernah kecil,” ayah yang tak mau kalah kemudian berdiri menyamai laki-laki itu.
Aku yang mendengar dari ruang tamu ketakutan, kenapa mereka terus menyebut-nyebut namaku. Aku masih belum paham apa yang mereka ributkan. Ibu lalu menggenggam tanganku kuat-kuat, kemudian berkali-kali mengusap dan mencium rambutku. Aku tahu ibu pun merasakan takut yang sama sepertiku, hanya saja dia tahu apa yang sedang dia takutkan. Sementara aku, hanya takut karena nada-nada sinis dan tinggi ayah dan laki-laki itu. Takutku semakin naik ketika namaku kembali disebut-sebut.
“Tanganmu dingin Nak, Sini ibu peluk. Tutup telingamu supaya tidak semakin dingin yaa?” ibu kemudian membuyarkan ketakutanku, kedua telapak  tangannya menutup kedua lubang telingaku. Mungkin ini hanya akal-akalan ibu supaya aku tak mendengar keributan itu. Walaupun begitu, samar-samar aku masih mendengarnya.
                                                            ***
Hari itu sekitar pukul 10.00, pelajaran bahasa Indonesia terasa sangat menyenangkan. Ibu Wida mendongeng cerita tentang Kancil yang mencuri timun, buaya yang dibodohi kancil, dan Cerita Keong Emas. kemudian kami diminta menuliskan tokoh-tokoh yang ada didalam cerita. Seolah melupakan kejadian semalam, aku bersekolah seperti biasa, duduk manis dibarisan nomor 2. Tapi tiba-tiba Bu Wida memanggilku, dia menyuruhku memasukkan buku tulis tentang tokoh-tokoh cerita tadi ke dalam tas begitupun segala alat tulis diatas mejaku.
“Segera kamu pergi ke ruang tamu lobi, ibumu sudah menunggumu,” kata Bu Wida manis sekali, dia memang selalu tersenyum. Guru yang baik dan cantik, penampilannya syar’i sekali. Auratnya tertutup rapi, hanya muka dan telapak tangannya yang dibiarkan telanjang tanpa balutan. Aku pun hanya mengangguk seadanya lalu mencium tangan Bu Wida kemudian meninggalkannya.
“Ayo nak, kita pulang,” ibu yang sudah menunggu sejak 10 menit yang lalu segera menggandeng tangan mungilku.
“Tidak biasanya ibu menjemputku sepagi ini. Biasanya jam setengah dua belas ibu baru menjemputku, itupun ibu menungguku di depan gerbang sekolah bukan duduk di ruang tamu lobi seperti hari ini. Ada apa bu?” tanyaku polos, tak sabar aku mendengar jawaban ibu.
Barang kali ibu mau mengatakan bahwa ada kerabat yang menikah kemudian kita akan pergi kesana, atau ada bibi yang baru melahirkan sehingga kita perlu menjenguknya atau apapun yang membuat kita harus berangkat pagi-pagi ke suatu tempat. Tapi, ibu hanya diam. Hanya berjalan dengan tergesa-gesa dengan tetap memegang tanganku tanpa sedikitpun merenggangkannya. Aku masih sibuk dengan barangkali-barangkali yang lain, berharap ada hal yang menyenangkan sehingga ibu sampai menjemputku ke sekolah padahal jam sekolah belum selesai.
Barangkaliku semakin merumit ketika ibu tak berjalan ke arah rumah, di pertigaan jalan ibu mengambil kanan padahal arah rumah kami adalah ke kiri. Aku semakin bingung, dan langkah ibu semakin tergesa-gesa. Tangannya semakin kuat menggenggam tanganku, Semakin dingin rasanya. Aku tak berani bertanya, kulihat ibu serius sekali. Aku masih belum bisa menebak akan kemana kita berdua ini. Aku pikir seharusnya ada orang yang berpapasan dengan kami saat ini, kemudian menanyakan akan pergi kemana kita dan kenapa terburu-buru. Lalu ibu menyebutkan suatu tempat sehingga aku tak penasaran lagi.
“Tolong Pak Odi tenang, kembali pada tempat duduk anda jika anda menginginkan sidang ini cepat selesai”
Balai Desa. Kenapa ibu membawaku kesini, aku masih berseragam merah putih lengkap dengan ikat pinggang, kaos kaki, sepatu dan Tas pink Strawberry Shortcake. Aku pikir apa tidak sebaiknya aku berganti baju dulu jika ibu ingin mengajakku ke perkumpulan ibu-ibu PKK, kenapa aku dibiarkan seperti ini. Kami berdua kemudian masuk ruangan, duduk di bangku paling depan. Aku rasa ini bukan perkumpuln ibu-ibu PKK seperti yang aku pikirkan, ada banyak laki-laki disana. Teryata ayah juga hadir, dia duduk di sebelah ibu persis. Tapi kenapa ayah tak menyapaku, mukanya sangat serius seperti muka ibu sejak tadi. Aku terkejut ketika melihat laki-laki itu duduk di barisan paling depan namun berlawanan dari barisan kami. Laki-laki berkumis yang ribut di ruang tamu dengan ayah semalam.
“Saudara Pak Ahas, bagaimana dengan nafkah yang Pak Odi berikan pada Nak Nayya?” tanya seorang yang duduk di barisan utama. Barisan yang berhadapan dengan semuanya, baik dari barisan kami maupun barisan laki-laki itu.
“Jangankan seperak dua perak, datang ke rumah untuk menanyakan kabar saja tidak pernah. Apalagi sampai susu, bubur, popok, baju-bajunya, beras, bahkan uang saku sekolah Alhamdulillah semua dari saya,” ayah menjawab pertanyaan tersebut dengan nada bijak.
“Benar saudara Pak Odi?”
“Ah, pokoknya Nayya tetap anakku, buah cinta Odi dengan Mar. Dan aku berhak sepenuhnya atas dia, dia darah dagingku, anak kandungku” laki-laki berkumis itu berdalih.
Aku terpaku, nafasku seperti mendadak tersengal-sengal tapi aku berusaha menahannya. Apa maksud ucapan laki-laki itu, aku masih terlalu dini untuk dapat mencerna ucapannya. Anaknya? Benarkah? Siapa dia hingga dia berani mengaku-ngaku aku ini anaknya, dan siapa Mar itu? Kenapa nama itu kembali di sebut setelah ayah menyebutnya diruang tamu semalam.
 “Dengan Akta kelahiran ini, secara jelas tertulis bahwa Nayya Pramudita adalah anak syah dari pasangan Ahas Wahyu dan Rumi Rahayu. Akta ini syah secara hukum!” ayah mulai geram, nadanya semakin meninggi.
Tatapan mataku kosong menatap orang-orang dalam forum itu. Satu-persatu mereka berbicara, tak jarang berbicara secara bersama-sama, kadang riuh, kadang sunyi menegangkan. Nafasku kembali tersengal-sengal, seperti ada bongkahan es yang menyumbat saluran pernafasanku. Dan “Bruggh....” aku tak sadarkan diri.
Aku tidak ingat lagi bagaimana kronologi berikutnya. Seingatku, orang yang disebut Pak Odi itu tidak lagi memperkarakannya lagi. Sehingga tidak ada sidang, tidak ada lagi tali yang ditarik-tarik. Meskipun begitu, sejak kejadian itu aku terus dibayang-bayangi dengan ucapan mulut-mulut di persidangan. Soal anak kandung, anak angkat, ayah biologis, dan apapun itu yang mengusik pikiranku. Sampai suatu ketika seseorang mengungkap rahasia besar identitasku. Bukan kedua orangtua angkatku, bukan saudara atau bahkan kerabat dekat tapi orang lain yang menguaknya.
“Nayya ternyata sudah besar yaa. Tentulah sudah tahu jika Nayya bukan anak kandung Pak Ahas dan Ibu Rumi Rahayu. Orangtua aslimu kan Pak Odi dan almarhum ibu Marini,” kata seoarang nenek sembari mengelus-elus rambutku. sejenak nenek tua itu berhenti bicara dan mencoba mengatur nafas kemudian melanjutkannya lagi.
“Ibu Marini meninggal sesaat setelah melahirkanmu di klinik. Dia mengalami pendarahan hebat, ketika dalam perjalanan menuju rumah sakit nyawanya tidak tetolong lagi. Pak Odi dan keluarga tidak begitu memperhatikanmu, keluarga masih terpukul atas meninggalnya Ibu Marini. Kebetulan salah satu kerabatnya,  Pak Ahas dan Ibu Rumi belum punya momongan sejak 7 tahun menikah. Mereka berdua sepakat untuk merawatmu, tentunya dengan izin Pak Odi dan keluarga. Yang membuat nenek heran kenapa Pak Odi malah memperkarakan hal itu?”
                                                            ***
Aku masih menatap empat digit yang baru saja mengajakku bicara. Digit-digit itu seperti mengatakan “Teruslah berjalan walau angin yang pernah bertiup tidak akan mengatakan apa dia akan datang kembali atupun tidak”. Meski kejadian itu terjadi sekitar 10 tahun yang lalu tapi aku tetap merasa sakit ketika mengingatnya.
Waktu itu zaman memang masih belum begitu modern, orang desa mana tahu soal tes DNA. Tes DNA yang ditemukan oleh Alec.J. Jeffreys tahun 1985, tes untuk mengungkap siapa orangtua biologis anak. Sekalipun waktu itu sudah tahu mungkin mereka tetap tidak akan melakukannya, mengingat budget yang dikeluarkan tentulah tidak sedikit. Sehingga tes itu tidak pernah ada.
Tapi jika laki-laki yang bernama Odi itu adalah ayahku kenapa dia membiarkanku diangkat oleh orang lain waktu itu. Kenapa sebagai ayah dia enggan bahkan tidak sudi untuk membesarkanku. Tapi ketika aku mulai mengenal dunia dia malah berusaha untuk mengacaukan hidupku. Dia ingin merusak kebahagiaanku bersama orangtua angkat yang sudah seperti orangtua kandung, bahkan lebih.
“Wali nikah” gumamku.
Aku kembali meratapi dua kata itu. Mana rela aku jika yang menjadi wali nikahku adalah laki-laki berkumis yang mengaku ayahku itu, sungguh demi apa saja aku tidak rela. Tapi, agama meminta jika pernikahan disaksikan wali kandung. Jika memang masih hidup, kemana pun dimana pun wali kandungnya harus dicari.
“Haruskah aku menganggapnya sudah mati? Supaya ayahku, ayah angkatku bisa menjadi waliku?” aku terisak kembali.
Mana mungkin aku membiarkan orang yang sama sekali tidak merawat dan membesarkanku duduk di sebelah pak pengulu di depan calon imamku. Orang yang sama sekali tidak mengeluarkan hartanya hingga aku menjadi seperti ini, menjadi seorang manager di salah satu perusahaan swasta ternama. Sementara orang yang sudah berjuang keras, banting tulang merawat dan memebesarku dibiarkan menonton dari belakang. Ayahku yang hidup sederhana seadanya menjadikan kepalanya jadi kaki hanya untuk menyekolahku bahkan sampai perguruan tinggi. Ketika utangnya dimana-mana, ketika bank berkali-kali datang ke rumah untuk mengambil apa saja karena ayah yang terlambat mengangsur. Dan ketika para tetangga mempergunjingkan kami yang berasal dari keluarga kekurangan tapi pura-pura mampu untuk mengenyam bangku kuliah, semua itu masih tersimpan jelas dalam otakku. Jika laki-laki itu, aku tidak pernah rela itu. Tidak pernah.
“Apa aku harus diam melihat pengorbanan ayahku yang begitu besar. Lalu yang mana yang harus kusebut ayah? Yang mana?” aku menangis sejadi-jadinya, air mata yang sudah kubendung sejak tadi akhirnya tumpah juga.
Aku masih tetap sendiri di ruang kamarku, terdiam di pojok ruangan. Marah, emosi telah menaikkan tekanan darahku, mendidihkan otak kiriku dan memekik batang tenggorokan. Aku marah semarah-marahnya, pada manusia berlagak priyayi itu, pada laki-laki berkumis itu. Jika memang dia benar-benar ayah biologisku kenapa setelah persidangan dia menghilang, bahkan sampai hari ini. Aku tidak lagi tinggal di desa itu, tidak pernah lagi berjumpa dengan laki-laki itu, dan hidup nyaman bersama orang tuaku, Pak Ahas dan Ibu Rumi.
Entah hukum apa yang membentengiku dan bagaimana kedudukanku sebenarnya. Mungkin hukum barat Staatblaad 1917 No.129 yang menegaskan bahwa sejak pengangkatan anak maka putus segala hubungan dengan orangtua kandung. Atau mungkin hukum agama yang jelas-jelas mengatakan anak tetap memiliki hak waris dari orangtua kandung dan tetap diakui sebagai anak orangtua kandung bukan orangtua angkat. Aku tidak tahu negaraku menganut hukum yang mana, negaraku bukan negara barat bukan pura negara agama.
“Wali nikah. Siapa?” suaraku semakin berdesis tak jelas, aku lemas menatap digit-digit angka di kalender dindingku. Seperti di persidangan dulu, tatapan mataku kosong. Seperti satu-persatu dari mereka berbicara, lalu berbicara kembali secara bersama-sama, kadang riuh, kadang sunyi menegangkan. Entah apa itu, padahal aku tidak sedang berada dalam persidangan. Nafasku kembali tersengal-sengal, seperti ada bongkahan es yang menyumbat saluran pernafasanku. Dan “Bruggh....” aku tak sadarkan diri.
0 Responses

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.