Tak
Ada Jawaban
Oleh :Turyati
“ibu...ibu...ibu...”
Matanya
masih tertutup meski berkali-kali dia mengigau memanggil-manggil ibunya. Sudah
2 minggu lamanya bocah 15 tahun dengan perawakan putih dan rambut ikal cepak
menderita sakit. Padahal dia sudah dibawa berobat, baik itu pengobatan medis
maupun pengobatan alternatif. Namun demamnya tak kunjung turun, malah cenderung
semakin parah. Benar saja, obat mana pun tentu takkan manjur baginya karena
sakitnya bukan sekadar fisik belaka bisa jadi psikisnya juga.
“kamu
minta apa nak? Kenapa sakitmu ini tak kunjung sembuh? Janganlah kau buat nenek
dan ibumu ini bingung”. Neneknya terisak.
“katakan
saja nak, apa yang kau mau? Asal kau jangan sakit begini”. Ibunya menangis
sesunggukan melihat anaknya yang terbaring lemah. Mendengar suara ibu dan
neneknya, pelan-pelan bocah itu membuka matanya. Dilemparkan pandangannya
sesekali pada ibunya, sesekali pula pada neneknya.
“bertemu
ayah bu”.
Satu
kalimat yang keluar dari mulut bocah polos itu, seketika membuat mereka kaku.
Suasana menjadi hening dan benar-benar beku. Siapa yang mau menyanggupi
permintaan bocah itu, siapa?
Serasa
memutar kembali kenangan 3 tahun yang lalu. kejadian waktu itu, 16 januari 2001
langit Krawang hitam, warna mendungnya merata. Bukan soal pembicaraan hujan
malam itu, bukan pula soal petir yang gaduh di luar kontrakan kecil tanpa
jendela. Namun tentang sebuah luka yang beranak pinak mejadi luka-luka. Rahmi masih
terdiam, wajahya kusut dan rambutya tergerai beratakan. Daster kembang-kembang
merah tersingkap dalam simpuhannya. Giginya gemeletuk mencoba menahan
ketegangan. Sekali-kali ditatapya si Hugo, bocah 12 tahun yang sedang tidur di
atas lempong tua. Dialah anak semata
wayangnya dengan Sahman. Ya, Sahman laki-laki yang sangat dicintainya. Jarum
jam terus berputar, pukul 01.15 dan sedini itu sosok seniman dengan baju
dekilnya itu belum juga pulang .
Suara
derap langkah, terciumlah oleh Rahmi bau minyak wangi lakinya, bau alkohol
menyembur pula dari mulut lakinya. Semakin mejadi saja tingkah laki-laki yang
dikenal cukup baik dikampungnya ini. Namun realita sosial dan kepayahan dunia
membawanya dalam kehidupan yang keliru, salah kaprah. Sudah 5 bulan dari 12
tahun usia pernikahannya dengan Rahmi, dia tak lagi menjadi selayaknya suami.
Terbiasa pulang dini hari membawa aroma vodca atau bahkan Civas Regal. Tak jarang pula bau minyak wangi Bruberry Woman menyengat dari jacket
jeans kusam yang selalu ia pakai. Rahmi berpikir jangan-jangan ada pula bekas
lipstik pada celana dalam suaminya. Parah. Rumah tangga mereka semakin kacau Sahman
yang sudah tidak lagi memberi uang belanja, tidak lagi membiaya sekolah Hugo, kini
mulai berani bermain tangan dengan wanitanya. Ditamparnya si Rahmi ketika
mengingatkan kelakuan suaminya yang makin seenaknya saja itu. Semua berantakan,
Sahman perlahan-lahan berhenti berkarya. Semua pekerjaannya terbengkalai, kuas,
palet, dan kanvas dalam keadaan bersih. 3 warna primer cat minyak tetap utuh
dalam bungkusya. Merah, biru dan kuning tidak lagi dikombinasikan tidak ada lagi
permainan seperti dulu. Warna mati karya mati.
“Sudah
gila kah kau Rahmi? apa yang kau lakukan ini?” suara keras Sahman seolah
memecah malam, mungkin juga membangunkan anaknya yang tengah tidur pulas.
Kemudian direbutnya sebuah cutter dari
genggaman tangan kanan Rahmi. Sementara pergelangan tangan kiri Rahmi sudah
terlanjur berdarah-darah akibat beberapa sayatan.
“ya
aku gila. Aku semakin gila karena kau terus saja menggila” wajahnya beruraian
air mata. Apalah arti sakit bekas sayatan itu jika dibanding sakit hatinya yang
sayatannya jauh lebih nyata dan dalam.
”arggh.
Dasar wanita lemah! Hanya menangiskah yang bisa kamu lakukan?” Sahman semakin
membabi buta, ditamparnya si Rahmi yang sudah semakin tidak berdaya. Sahman menghambur
meninggalkan Rahmi. Sementara Hugo berpura-pura untuk terus tidur dan seolah
tak mengerti apa pun. Padahal dia mendengar semuanya, pertengkaran orang tuanya
di malam purrnama itu dari awal sampai akhir. Dia tetap pura-pura tidur dan
menahan air matanya. Sampai ayahhnya keluar meninggalkan keduanya, tersisalah
Hugo dan ibunya dalam sepetak kamar itu. Kemudian Hugo merangkul ibunya,
melihat pergelangan tangannya yang berdarah lalu diguncang-guncangkan tubuh
ibunya.
“ibu
hendak tinggalkan aku? Ibu jangan lakukan itu, apa ibu tega melihat aku hidup
sendiri. Aku sudah seperti kehilangan sosok ayah yang penuh kasih. Ayah yang
selalu marah ketika aku tak mengaji, ayah yang melarangku nakal dan menjahati
teman-temanku. Aku kehilangan tangan yang seharusnya dapat ku cium setiap
berangkat ke sekolah, ibu. aku takut sendirian...” seketika itu Rahmi mendekap
tubuh mungil Hugo, keduanya menangis pilu dalam luka dan perih.
Seniman itu makin menjadi, lama-lama
dia jarang pulang. Sesekali Rahmi mendatangi tempat yang menjadi tongkrongan
Sahman. Memastikan apa yang sedang dilakukan suaminya selama tak pulang.
Benarkah dia sedang mendapatkan banyak job
melukis, sampai-sampai dia kewalahan dan tak sempat pulang untuk sekadar
menjenguk istri dan anak semata wayangnya. Tapi apa, dia tak ada di sana. Teman-temannya
pun jarang bertemu denganya untuk beberapa pekan ini. Kabarnya semakin tak
jelas, desas desus berita miring pun mulai tersebar. Keadaan yang semakin sulit
memaksa Rahmi akhirnya harus bergegas mencari pekerjaan. Sahman sudah tidak
lagi menghiraukannya, kalau bukan dia siapa lagi yang mau menghidupi anaknya
dan dirinya sendiri tentunya. Ijazah tamatan SD dibawanya kesana kemari,
dijajakan dan ditawarkan dari satu tempat ke tempat yang lain. Pendidikan
rendah, tak ada keterampilan dan gagap teknologi semakin menyusahkan nasib
Rahmi. Beruntung Kong Ahud mau menerimanya sebagai karyawan di pabrik konveksinya.
Karni dan anaknya makan dari hasil pasang kancing di pabrik Koveksi Kong Ahud.
Sesekali Sahman pulang ke kontrakan
sekadar melepas jacket jeans-nya
diganti rompi yang lebih lusuh warnanya. Memang begitulah penampilan seorang seniman,
acuh tak acuh. Rahmi yang lebih banyak menangis seolah pasrah akan keadaan.
“pakai
bajumu dan ambilah payung di dapur. percepat langkahmu nak, jangan sampai kita
kehilangan jejak”. Hugo menurut tanpa bertanya kenapa dan ada apa. Seolah dia
sudah cukup mengerti rencana ibunya. Sementara itu Rahmi kembali ke tempat semula
dengan selendang hitam yang menutupi rambutnya, kedua ujungnya di jatuhkan pada
dua bahunya.
“kita
naik angkot biru muda jurusan Tanjung Pura-Rengas Degklok saja”
“kemana
bu?”
“ke
rumah perawan nak”
“siapa?”
Pertanyaan
anaknya tidak lagi diindahkan oleh Rahmi, karena angkutan umum itu telah
menurunkannya tepat di depan sebuah rumah kecil semacam paviliun. Dengan penuh
hati-hati ibu dan anak itu mendekati bangunan kuning itu. Keduanya mengamati
lingkungan sekitar, pemukiman yang tidak terlalu padat dan beberapa pekarangan
kosong masih ditumbuhi rumput-rumput tinggi. Kemudian tertangkaplah oleh dua
pasang mata pengintai sebuah motor dengan plat T 5502 AB terparkir manis di
pojok kiri halaman.
“jadi benar apa yang selama ini teman-temanmu
katakan. Inikah caramu memperlakukan istri dan anakmu. Tinggal serumah dengan seorang
gadis dan melakukan apa saja barang tentu. Ini kah Sahman yang ku kenal 17
tahun lalu dengan sejuta janji manisnya. Inikah caramu mengatakan padaku janji itu
bualan semata?” Rahmi terisak memaki sendiri, Hugo yang masih polos hanya ikut
menangis menyaksikan ibunya beruraian air mata. Tangan ibunya digandeng sangat
erat, kepalanya tertunduk lemas.
Sejak
kejadian itu masalah menjadi semakin rumit, perlahan-lahan Rahmi tak tahan
lagi. Sahman semakin sering bermain tangan, tak pernah lagi pulang, dan hidup
sesukanya. Dalam rumah itu, Rahmi dan Sahman sudah seperti orang lain saja, tak
ada komunikasi dan tak saling kenal. Bahkan desas desus memuncak ketika gadis
yang diduga menjadi simpanannya telah hamil. Sampailah Rahmi pada titik
lelahnya, berakhir, berakhir, berakhir dan usai. Keduanya lalu memutuskan
berpisah. Hugo terpaksa harus pindah ke kampung dan tinggal bersama neneknya, sementara
Rahmi setelah mengantar Hugo Ke Kampung dia kembali ke luar kota mencari
sedikit rupiah untuk penghidupan anaknya. Culture
Shock yang dihadapi Hugo membuatnya menjadi seorang pembangkang,
minum-minuman keras dan melakukan banyak penyimpangan layaknya bocah yang
menginjak usia remaja lainnya.
Ibu
dan neneknya masih terdiam menyelami kenangan pahit itu dan keduanya masih dalam
suara otaknya masing-masing, yang berusaha mencerna permintaan Hugo.
“Haruskah
aku...?” suara hati Rahmi bergejolak bimbang.
“simpan
dulu permintaanmu nak, besok akan ibu belikan mainan ya”
Dan
akhirnya keluarlah sepatah kalimat dari mulut Rahmi yang sudah pasti tidak akan
merubah suatu keadaan apapun. lalu segera dia membuang muka, menahan air mata
dan sesak pada kerongkongannya. Hugo tak mengindahkan jawaban ibunya. Suasana
kembali hening, semua kembali sibuk dengan pertengkaran asumsi dalam otaknya masing-masing.
Tak ada jawaban.
End.
Posting Komentar