Turyati
17 kado untuk Chiecha
”Gimana Dis ? Chiecha udah sadar belum ?” Rivis terlihat panik sewaktu tahu kalau sahabatnya jatuh pingsan dilapangan basket.
“udah kok, dia nggak papa katanya cuma kecapekan aja.” Disti tersenyum menepuk pundak Rivis yang terus bergetar.
Chiecha adalah cewek manja yang lucu, imoet, dan ngegemesin banget. Siapa sih yang nggak suka sama dia, anaknya baik, ramah udah gitu cantik lagi. Tapi akhir-akhir ini kondisi tubuhnya terlihat drop abis. Dikit-dikit capek dikit-dikit pingsan pokoknya lemah banget Rivis adalah orang pertama yang khawatir banget sama keadaan Chiecha. Maklumlah, selain Chiecha adalah sahabat baiknya sekaligus cewek yang paling dia sayangi selama 2 tahun terakhir ini. Malangya, Rivis tak pernah punya keberanian seperti Yogi untuk mengatakan langsung pada Chiecha.
Malam itu Rivis memutar beberapa CD Rock untuk menenangkan gelisahnya. Jalan bolak-balik disamping ranjang tidurnya. Ya beginilah Rivis ketika tau kalo Chiecha kenapa-kenapa, nggak bakal bisa diam tidur dikamar. Dilihatnya kalender diatas meja belajarnya.
“20 hari lagi” telunjuknya meberpijak tepat diatas angka 2 pada kolom februari.                                                                                                                           ***
“kok udah sekolah sih Cha? Yakin lo udah baikan ? tampang masih pucet gitu dipaksain” Rivis khawatir jika  nanti terjadi sesuatu pada Chiecha.
“ih apaan sih lo. Gue nggak papa tahu. Liat nih gue sehat-sehat aja.” Pipinya ditepuk-tepuk beberapa kali.

“seminggu  lagi lo ultah kan Cha ? makan-makan dong.”
“iya, tenang aja. Lo mau minta makan 700 piring juga gue jabanin deh. Iya nggak Dis ?”
"haha gue Cuma mau minta Coffelate classic of Italia langsung dari tempatnya.”
Celetukan rivis membuat ketiganya kegelian. Disti mengangguk pelan, mulutnya monyong-monyong makan gorengan.
“hahahaha” 
“Kalo urusan kopi, sama cermin aja gue enggan berbagi, apalagi sama lo Vis.”
“hahaha”
tawapun pecah diantara mereka. 3 sekawan yang kemana-mana selalu bersama  yang selalu merasa tak lengkap ketika salah satu dari mereka absen dari jadwal tongkrongan. Nggak ada satupun dari mereka rela jika ada yang tersakiti. Rivis memang sangat menjaga Chiecha.  dibanding Disti tentu Chiecha lebih lemah, tapi dianya aja yang sok-sok kuat dihadapan orang-orang. Semenyedihkan apapun kondisinya Chiecha enggan bercerita pada siapapun termasuk orang-orang terdekatnya, bahkan orang tuanya sekalipun. Dia lebih  memilih bungkam, memendam dan menanggung semuanya sendiri dibanding harus melihat orang-orang cemas mengkhawatirkan kondisinya. Dia selalu bilang baik-baik saja selalu menganggap dirinya tidak kenapa-kenapa. dasar bodoh !
“ pokokna gue minta 17 kado dari lo Vis ! “
Anak-anak melongo mendengarnya. Gila ! 17 bung. Apa aja coba, masih untung dikasih yang ini eh nuntut banget. Haha
“ 17 ??? gila lo Cha. Bokek dong gue. Nggak mau !! nggak mau !!” Rivis ogah-ogahan menyanggupinya. Diitung aja kalo 1 kado 70 ribu berarti 7 di kali 70 ribu yang alhasil keluar  490 ribu melayang deh. Pelajar bung duit segitu kalo nggak minta ya bobol celengan deh. Sayang.
“gue nggak mau tahu pokonya 17 titik. Kalo dari lo Dis,  gue cuma minta  17 menit lo buat gue. Gimana ? “ layaknya bocah kecil yang minta mobil-mobilan dihari ultahnya, Chiecha meminta sok-sok iba.
“ ih Chiecha ngerik deh. Kenapa harus serba 17 sih. Apa mentang-mentang sweetseventeen gitu ??” Disti heran sama sohibnya ini, perayaan yang aneh. dia menolak pesta tapi lebih memilih waktu dan kado. Bukan Chiecha banget sebenarnya. Cewek yang gila fashion, gila gadget malah mangkir.
“udah-udah nggak usah pada banyak omong deh, Cuma kali ini kok gue minta sesuatu sama kalian. Biasanya kan kalian yang minta-minta ke gue. Sekali-kali boleh dong. “
“okeeee” keduanya menyahut bersama, Disti dan Rivis.
Hari demi hari berlalu, sekitar 15 kado sudah Rivis siapin buat Chiecha. Tapi dia tidak bersusah payah membobol tabunganya. Budgetnya sedikit, bukan  barang-barang mahal yang ada dalam kotak-kotak beraneka warna itu. Toh yang Chiecha minta kan jumlahnya 17 bukan harganya.
                                                                                ***
Akhirnya tiba juga 2 februari 2012. Hari jadi Chiecha yang ke 17. Jam 12 tepat dia dapet surprise kecil-kecilan dari ayah bundanya. Blackforest cake yang sama setiap tahunya, buatan orang yang sama dan rasa yang selalu sama. Bundanya memang special membuatkan blackforest yang satu ini khusus dihari-hari istimewa saja.
Pelukan dari kedua orang tuanya membuatnya sedikit terharu. Tapi selanjutmya dia memutuskan untuk kembali terlepap karena rasa sakit dikepalanya yang amat teramat sakit. Entah migren atau pusing biasa. Hingga pagi tiba sakit masih terasa, bahkan semakin hebat. dia memutuskan absen sekolah. Sohibnya bingung. Rivis dan Disti berusaha menghubunginya tapi hp-nya tidak aktif. Sms brkali-kali tapi tak ada balasan, pastilah tidak masuk.
“Kamu sakit lagi Cha ? “ Rivis mengusap-usap kening Chiecha, matanya berkaca-kaca melihat wajah pucat Chiecha. Suara pelan Rivis membangunkan tidurnya.
“kapan kalian kesini “ suaranya lemah tapi bukan Chiecha kalo dia tidak bersikeras bangun dari tidurnya. Disti hanya memandangiya tanpa kata.
“Mana 17 kado buat gue Vis ? kan lo udah janji” dengan tidak menambah volume suaranya Chiecha terus ngomong dan ngomomg. Meski sedang lemah seperti itu masih saja dia bisa tersenyum nyengir nagih kado. Dasar bodoh !
  “lihat...” Rivis mengangkat tas plastik ditangan kirinya karna tangan kananya masih bertengger di kening Chiecha.
Belasan kotak warna warni berkumpul dalam satu tas plastik. Mata Chiecha bungah menatapnya.
“ternyata lo serius, gue buka yaa” satu per satu kotak demi kotak terbuka. Hadiahnya memang biasa saja. Chiecha senyum-senyum melihat isinya, bukan karna berisi barang-barang yang lg uptodate melainkan kupulan benda sederhana. Sederhana banget.  Ada kotak pensil, kotak musik mungil, mie instans, make up, novel best seller, dan beberapa peralatan cewek bermerk x. Yang lebih konyol ketika kotak ke 14 di buka isinya bungkus coklat tanpa isi, yang ke 15 rok mini entah apa maksudnya. Yang ke 16 adalah buku diary, berharap Chieca nggak lagi lupa-lupa sama hal-hal yang perlu dicatat.
“kok nggak ada lagi Cuma 16 Vis ? kok nggak 17 ?”
“ yang ke 17 gue pengen lo sendiri yang langsung ngambil  itu kado”
“nggak mau gue.”
“yakin lo nggak mau Cha. Yang itu kado utama dari gue. “
Pandangan seketika blur, hidung mancung Rivis, mata sipit dan tahi lalat kecil dipelipisnya tak lagi tertangkap jelas oleh mata Chiecha. Samar-samar terlihat bibir Disti terlihat bergerak tak beraturan tapi entah apa yang dia katakan. Lalu “blukkkk”. Tubuh Ciecha jatuh ke ranjang hello kitty warna pink. Matanya terpejam, darah keluar dari lubang hidungnya. Warnanya tidak begitu pekat. Semua orang panik.
                                                                                ***
Tanah kuburan belum kering, Air matapun belum berhenti. Duka cita diantara sanak keluarga dan kerabat teramat dalam. Secepat itu Chiecha pergi. Berhenti mengukir kisah bersama orang-orang terkasihya. Pendarahan otak pada si pecandu kopi . Kedokteran memang membuktikan bahwa mengkonsumsi kopi secara berlebihan berpotensi menyebabkan serangan jantung, stroke, penyumbatan pembuluh dan pendarahan otak.  Gadis bodoh ini sangat menggilai kopi. Tapi sejak 4 tahun terakhir kecintaanya meningkat hebat. Setidaknya dia menghabiskan 4 sampai 5 cangkir kopi tiap harinya. Berlipat jumlahnya ketika masalah sedang ada bersamanya.  Gadis itu biasa berjam-jam di coffe shop menyibukkan diri dengan laptop dan kopi. Duduk seharian di teras rumah dan berteman kopi. Semua orang tahu akan kecintaanya itu tapi tak ada yang tahu betapa singkat kiprahnya. Kaffein  mematikannya pelan-pelan.  Tak ada satupun orang yang menyangka petaka itu menimpa gadis lugu sepertinya.
Tatapan mata Rivis kosong melihat sepeda hijaunya. Dipadang ilalang itu Rivis meneteskan air mata, bersama sebotol cairan. Cairan yang belum sempat ditiup menjadi gelembung-gelembung, lalu berterbangan di padang ilalang. Kado yang belum sempat Rivis persembahkan. Menyesal. Tak bisa mewujudkan setidaknya satu diantara impiannya . Naik sepeda bersama seseorang yang berarti lalu bermain gelembung di padang ilalang. Impian Chiecha.
 “Cha, gue sayang banget sama lo. Biarpun lo udah nggak ada tapi lo akan selalu hidup dihati gue. Ada yang harus lo mengerti, lo nggak akan ada gantinya“ air matanya jatuh tepat disudut senyum foto Chiecha. Satu yang Rivis sesalkan, Dia nggak pernah puya keberanian menyatakan perasaannya. Nggak pernah berani buat bilang sayag hanya karna orang itu sahabatnya, sampai akhirnya Sosok itu pergi. Dan kesempatan itu nggak ada lagi. :)
End.
0 Responses

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.