Rapat Pleno
Oleh : Turyati
Di ujung papan tulis, disudut papannya selalu timbul empat
kata yang sama setiap hari. Berkali – kali di hapus besok juga tetap akan
timbul lagi. Ya, kata “mama”. Tak ada
yang tahu siapa yang menulisnya. Jika diamati lebih jauh, tipe tulisannya
selalu sama. Dua huruf M yang ditulis
menyerupai punggung gajah dan huruf A yang menyerupai separuh potongan kue
ulang tahun. Sudah sekitar 3 minggu
terakhir goresan kapur itu menghias ujung papan tulis, hapus – timbul, hapus –
timbul, begitu seterusnya.
Murid – murid kelas 3 mempertanyakan tulisan tersebut,
mereka penasaran siapa yang telah menulis kata itu di papan tulis setiap hari.
Apa maksudnya, adakah kisah dibalik empat huruf misterius itu. Tak ada yang
tau, tak ada tanda – tanda untuk jawabannya. Berita itu akhirya sampai juga ke
telinga Pak Tamrin, guru kelas 3. Sebenarnya memang tidak begitu menganggu. Tulisan
“mama” sebegitu kecil dalam papan tulis ukuran 2,5 x 1,5 m. Hanya seperti
sebiji nasi dalam secangkir kopi, sepele namun merusak esensi. Jelas Pak Tamrin
tidak begitu ambil pusing dengan masalah seperti itu, pekerjaannya banyak mana ada
waktu mengurus hal –hal sepele seperti itu.
Siang itu benar – benar panas, memasuki pelajaran jam ke 5
bising dan cukup gaduh. Pak Tamrin berusaha mengkondusifkan kelas, tongkat
bambu di ketok – ketokkan di papan tulis selama beberapa kali. Berhasil, anak –
anak mengalihkan perhatiannya ke arah papan tulis.
“Anak – anak, besok Rabu akan diadakan rapat pleno wali
murid. Setelah pelajaran Bahasa Indonesia selesai kalian bisa mengambil surat
undangan di ruang guru “ kata Pak Tamrin.
“iyaaa Pak” , anak – anak menyahut serempak, kecuali
Ningrum.
Ningrum masih saja asik dengan blocknote-nya. Dia menuliskan beberapa kata disana, jelas bukan soal
pengumuman dari Pak Tamrin. Roem, Mulberry, dan Jim&Jimmy, Kata – kata
itulah yang tertulis dalam blocknotenya. Bahkan
ketika anak –anak lain lari keluar kelas berebut sampai di ruang guru, gadis
kepang dua itu masih tertunduk di bangkunya.
“Rum, bagaimana kamu? siapa yang akan menghadiri rapat pleno
itu” bahu Tessa sengaja menyenggol bahu Ningrum, kemudian dia berlari
meninggalkan Ningrum sendiri. masa bodo dengan ucapan Tessa, memang dia
orangnya begitu. Walau sebenarnya dalam hati Ningrum sendiri membenarkan ucapan
Tessa. Ningrum bertanya pada dirinya, akan kah ada yang menjadi walinya ketika
rapat pleno nanti. Ningrum kembali menatap Blocknote-nya,
layaknya bocah SD, dia sangat khawatir jika sampai tidak ada yang datang dan
mengaku wali atas nama Ningrum. Anak seusia dia mana tahu, jika rapat pleno
hanyalah pertemuan biasa antara sekolah dengan wali murid. Anak seusia dia mana
mengerti rapat pleno hanyalah duduk – duduk di dalam ruangan dapat snack dan mendengarkan ocehan –ocehan
pejabat sekolah. Jelas pikirannya masih sangat dangkal, rapat peno adalah
sesuatu yang istimewa. Buktinya baru sekitar setahun sekali diadakan. Bukankah
itu namanya istimewa. Ningrum takut jika hanya dia sendiri yang orang tuanya
tidak hadir. Ningrum pulang tanpa undangan rapat pleno itu.
“Nduk, nduk nduk “
suara pelan nenek menyembul dari balik kelambu dapur. Dengan agak terseok –
seok dia berusaha mencari cucu gadisnya. Tongkat bambu cukup membantunya
mengenali sekitar, meraba apa saja yang tak dapat dijangkau oleh penglihatannya.
Dua langkah kedepan, sedikit berputar tapi tak ada sahutan. Rumah tua itu tetap
hening bahkan bisu. Langit – langit dapur hitam, tungku batu dan kayu bakar di
sampingnya, dan kamar mandi yang hanya bersekat papan dengan dapur dalam satu
ruang mengatakan betapa rumah itu sudah termakan usia.
“Nduk, nduk ini tadi handphone di meja berbunyi...” suara
nenek masih juga belum keras.
“Barang kali ibumu” tambahnya kemudian.
Kakinya mulai pegal, ujung tongkat bambunya meraba kaki
kursi tapi malah kendil hitam yang tersenggol. Ah, akhirnya ketemu. Belum
sampai bokongnya jatuh kekursi, seorang anak gadis 10 tahun menghampirinya.
“Biar ku bantu nek” tangan mungilnya memegang tangan kisut nenek
yang urat – uratnya tergambar jelas.
“Bukan dari ibu Nek. Hanya sms dari opartor seluler”. Tiba –
tiba saja wajah yang tadinya ceria menjadi padam seketika. Seperti lentera yang
kehilangan pendarnya. Di tatapnya mata nenek yang seolah memandang kedepan,
seperti melihat sesuatu namun sebenarnya gelap. Dilihat baik – baik bola mata
yang di kelilingi kulit kisut yang mengantung.
“Nek, tadi pak guru bilang hari rabu ada rapat pleno”
Ningrum tertunduk.
“Kata pak guru juga, wali murid wajib datang dalam rapat
itu. Penting “ tambah Ningrum kemudian.
Tangan nenek kemudian meraba – raba muka cucunya, di cari
hidungnya, di cari bibir dan matanya. Kedua tangannya kemudian berhenti di
gundukan pipi Ningrum.
“Maksudmu semacam kumpulan, pertemuan ibu – ibu PKK desa itu
Nduk ?” nenek berusaha tersenyum menatap wajah cucuya, meskipun yang didapat
hanya gelap.
“Iya Nek, Rum bingung siapa yang akan datang nanti” muka
Ningrum masih lesu, belum ada tanda – tanda beberapa menit kedepan dia akan
tersenyum.
Tiba – tiba hp di meja berbunyi lagi, tapi kali ini nadaya
berbeda. Tanpa komando, sumringah sekali Ningrum segera mengangkatnya. Tombol
ok, sebelah kanan tulisan ibu di layar hp.
“Halo, ...”
“Rum, kamu”
“Iya Bu, kebetulan sekali ibu telepon. Ada yang ingin Rum
sampaikan” kata Ningrum dengan nada ceria. Pantas saja karena setelah 1,5 bulan
baru hari ini ibunya menelponnya lagi.
“Sudah nanti saja, mana nenekmu ?”
“Tapi bu ini soal rapat pleno. Bisakah ibu pulang sebentar
untuk itu ?” rengek Ningrum kemudian.
“Sudah cepat mana nenekmu, ibu ingin bicara dengannya. Asal
kamu tahu Jakarta – Wonosobo itu tidak satu jam dua jam sampai. Mana mungkin
ibu pulang kampung hanya untuk rapat plenomu itu. Sudah mana cepatttt !” ibunya
membentak, nada tingginya membuat Ningrum jera untuk kembali merengek.
“Mia, ada apa? Kasian itu Rum “ kata nenek.
“Sudahlah Mak, paling rapat pleno begituan hanya masalah
uang sumbangan. Gampang bisa ditransfer. Yang lebih penting, Mia mau bilang ke
Emak kalau James, cucu laki – laki Emak ini minta foto Emak dan Rum. Emak
tolong segera urus itu”
“Mia, apa kamu tidak iba sebagai seorang ibu melihat Rum
seperti itu. Apa kamu tidak merasa sungkan hidup hura – hura disitu sementara
emak dan anak gadismu melarat di kampung ?”
Begitulah berdebatan malam itu memanas. Keduanya sama – sama
tak mau kalah, kecuali Rum yang sudah terlebih dahulu mengalah pada keadaan.
“Sudahlah Mak, besok aku transfer. Tinggal Mbak Unah nanti
yang mengambilnya Emak jangan mengiba terus” suara Mia mulai meninggi, nadanya
pun sedikit nyolot.
Hening sejenak. Baik Emak maupun Mia diam, keduanya sibuk
dengan penyangkalan – penyangkalan dalam otak masing – masing. Mia yang keras
tetap bersikukuh pada pendiriannya, tak sedikit pun goyah apalagi berubah.
Sementara Emak masih belum luluh, dia tetap menginginkan anak bontotnya datang
menjeguknya. Dan yang lebih utama menjeguk anaknya, Ningrum.
“Nak apa tidak bisa kamu pulang dulu sebentar .... tuth tuth tuth ?” belum selesai Emak
berdalih, telepon sudah terputus.
Emak terduduk di kursi lapuk, kaki – kakinya yang sudah
termakan rayap masih kuat menyangga Emak yang tidak kalah lapuknya. Keriput di
sana - sini sudah seperti Art Body,
kantung matanya menggantung, ada letih di sudut matanya. Maklum sudah 2 anak
yang dia besarkan bahkan tuakan. Anak pertama sudah menikah dan punya anak,
mereka bekerja di perkebunan kelapa sawit di Padang. 10 tahun sudah mereka
mengadu nasib di pulau orang, dan sekitar 3 tahun terakhir baru menjenguk Emak.
Anak keduanya, Mia sekarang tinggal di Jakarta Di salah satu perumahan elit
sekitar Mangga Dua. Emak terpisah dari anak – anak, tinggal di desa bersama
cucu gadisnya, anak pertama Mia dengan suami pertamanya.
***
Ketika anak – anak mulai ikut merasakan getirnya kehidupan
sekali gigit berasa sampai pangkal tenggorokan. Yah, begitulah hidup. Tidak di
kota, tidak pula di desa hidup takkan pernah seindah mulut Mario Teguh atau
motivator manapun. Mungkin itu yang di rasakan Ningrum, sebab dia hanya seorang
anak kecil sehingga kurang daya untuk mengatakannya.
Minggu berlalu, begitu juga dengan senin dan selasa demikian
berlalu begitu saja. Rabu pagi dingin pedesaan serasa menguliti sampai ke
tulang – tulangnya. Kabut pagi terlihat menutup badan – badan jalan, suara
burung cicit cuith mengusik keheningan. Jam sudah menunjukkan pukul 06.05, dan
Ningrum masih duduk – duduk diteras memegang Blocknotenya. Sesekali memandang tulisannya, “Roem, Mulberry, dan
Jim&Jimmy”. Dia menemukan kata –kata itu dari benda –benda ibunya. Dia
masih ingat, Roem tetutis jelas di pinggang baju yang di kenakan ibunya. Ada
semacam gatungan kecil bertuliskan Mulberry di tas ibunya, dan alas sepatu
highheels 10 cm bertuliskan Jim&Jimmy. Dia tentu tidak tahu apa maksud
setiap kata itu, dia hanya ingin menuliskannya dan mengatakan ingin bertemu
dengan kata – kata itu. Karena kata –kata itu yang selalu melekat pada ibunya,
jika dia bertemu kata –kata itu sudah pasti dia juga akan bertemu dengan
ibunya. Dia jelas tidak tahu jika Roem adalah merek baju wanita karier, made in Korea yang sudah mendunia. Mana
tahu dia kalo Muberry adalah merk tas branded yang harganya ratusan juta, dan
Jim&Jimmy mungkin dia mengiranya adalah nama anak dan suami baru ibunya.
Dia pastilah tidak tahu kalau Jm&Jimmy adalah merk sepatu pesta buatan
Taiwan yang sudah mendunia, sudah pasti jangan ditanya harganya.
Ningrum masih saja duduk di tempat semula, tentu bukan
sedang memikirkan merk – merk itu. Wajahnya masih bingung, sampai pagi ini
belum ada tanda – tanda orang yang siap datang ke rapat pleno. Padahal pukul
09. 00 nanti, rapat akan dimulai.
“ibu? Apa aku punya ibu, ibu yang katanya sekarang sudah
menikah dengan orang asing dan hidup mewah. Ya ibu yang sekarang punya anak
lagi dan di sekolahkan di sekolah internasional, yang biayanya puluhan juta
hanya untuk tingkatan play group. Apa aku masih punya ibu untuk rapat pleno
hari ini?” Ningrum terisak sendiri.
“Mana mungkin nenek, nenek tidak akan sampai disekolah.
Kalau saja nenek bisa melihat..” wajah Ningrum kemudian menunduk pasrah.
Inilah alasan kenapa sudah 3 minggu terakhir Ningrum selalu
menuliskan kata mama di ujung papan tulis kelas. Dia tidak tahu lagi dimana
kata “mama” itu harus dia tuliskan supaya orang – orang mengerti dan paham
bahwa itu yang dia mau. Tapi nyatanya tak satu pun yang tahu bahwa tulisan itu adalah
tulisan Ningrum. Begitu pun Pak Guru Tamrin.
Atas nama emansipasi wanita, di kota banyak wanita karier
yang sukses dan hidup mapan. Tinggal di kompleks perumahan elit atau bahkan di
apartement mewah. Jika bukan wanita karier sudah pasti dia istri orang penting
makanya bisa tinggal di perumahan elit, naik turun mobil mewah, dan berpenampilan
glamour. Tapi juga tak sedikit adalah
wanita yang menjadi simpanan pejabat, atau bahkan istri siri warga asing. Peradaban
di kota indivdualis, jelas masa bodo dengan hal – hal semacam itu. Berbeda
dengan hidup di desa, orang-orangnya cenderung memiliki empati tinggi terhadap
orang lain. Mereka biasa ikut campur dengan urusan yang sebenarnya sama sekali
bukan urusannya. Menggunjing di belakang bahkan mengolok – olok fenoma macam
itu. Begitu pun warga Desa Kalong, mendengar kehidupan Mia yang borjuis
bukannya kagum dan hormat malah menggunjing dan memperoloknya. Mia bukan wanita
karier, dia hanya istri orang asing.
Sejak menikah dengan seorang pengusaha berkebangsaan India,
hidup Mia memang berubah total. Ibarat kata, dari beralas daun pisang menjadi bed mewah bintang lima. Yah, betapa
tidak. Suaminya kaya raya, uang berlimpah bahagia sekali. Apalagi lengkap sudah
kebahagian mereka setelah dikaruniai seorang anak laki – laki. Kini 3 tahun
usianya, James namanya. Mia yang dulunya hanya lulusan SD, kulit sawo matang,
dan penampilan seadanya kini bak nyonya besar. Dia mahir berbahasa Inggris,
karena memang pernah punya pengalaman bekerja sebagai TKW bertahun – tahun.
Mana kenal Mia dengan daster kembang – kembang yang dulu dia kenakan di kampung,
sekarang baju - bajunya branded. Tapi
Mia tidak pernah mau tahu bagaimana kehidupan Emak dan Ningrum di kampung,
hanya uang, uang dan uang yang sampai di depan pintu rumah. Bukan Roem,
Mulberry, atau bahkan Jim&Jimmy-nya Mia.
Jam sudah menunujukkan pukul 10.15, Ningrum masih belum
beranjak dari tempat yang sama. Ketika neneknya menegur bahkan Ningrum hanya
diam. Dilihatnya ibu – ibu dan bapak – bapak yang berpakaian rapi sudah tidak
ada yang lewat di depan rumahnya lagi. Orang – orang yang pakai baju batik
bersandal nyetrik, bau miyak wangi itu adalah para tetangga yang akan
menghadiri rapat pleno. Sementara itu tidak ada bau minyak wangi di pintu rumah
Ningrum, hanya ada bau Terasi yang sedang nenek bakar di belakang. Jalanan
semakin sepi, aroma minyak – minyak wangi tadi pun sudah hilang.
“Ah pasti rapat pleno sudah di mulai dan mungkin akan segera
di akhiri” jam sudah menunjukkan pukul 15.00, Ningrum lalu masuk kedalam
rumahnya. Setelah berjam jam duduk di teras dengan sejumlah pikiran yang mengusik
rapat pleno, kakiya melangkah menuju pintu utama yang kayu – kayunya sudah
termakan rayap. Pintu ditutup, Rapat pleno selesai, tapi rapat – rapat yang
lain dalam hati Ningrum belum juga dapat terselesaikan. Ibunya, dimana ?